Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh bekerja sama dengan lembaga asing, dengan catat...
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja mengatakan, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) boleh bekerja sama dengan lembaga asing, dengan catatan tidak
merecoki rumah tangga KPU.
"Itu boleh. Pertama, dalam konteks pendidikan politik pemilih. Kedua, dalam pemantauan pemilih, dan ketiga dalam konteks sosialisasi," ujar Hakam kepada Tribunnews.com di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (23/5/2013).
Hakim menambahkan, jika kerja smaa KPU dengan lembaga asing menyoal urusan data, apalagi terkait penyelenggaraan internal KPU, jelas menabrak prinsip independensi.
"Artinya, kerja sama itu jangan masuk ke dalam rumah tangga KPU. Kalau kerja sama ke luar dan tidak masuk, bisa. Kami tentu saja akan melakukan fungsi pengawasan," tuturnya.
Sebelumnya, Koalisi Mandiri untuk Pemilu Demokratis (KPMD), gabungan masyarakat sipil pemerhati pemilu, meminta KPU menjelaskan kenapa ada kerja sama dengan Australian Electoral Commision.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow, mendapat informasi adanya kerja sama KPU dengan AEC, yang melakukan pelatihan untuk menjadi fasilitator dengan KPU provinsi dan kabupaten/kota.
"AEC ini lembaga yang mendanai, dan kegiatannya di Hotel Aston Bogor. Kami mau tahu sejauh mana kerja sama dengan lembaga asing. Informasi ini akan kami konfirmasikan dengan KPU," ungkap Jeirry siang tadi di KPU.
Jeirry menambahkan, AEC membuat modul dan training dengan KPU daerah. Kerja sama ini sudah berjalan sejak tahun lalu. Sayangnya, komisioner KPU tak bisa menjelaskan karena tak ada di kantornya.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menduga ada alasan, meski sudah dua kali Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengingatkan KPU tak lagi bekerja sama, tapi tetap tak mengindahkan."Tahun lalu kami merilis hasil Kedutaan Besar Australia telah mengeluarkan paket bantuan ke KPU. Kami mendesak KPU tak gunakan bantuan itu. Sampai akhirnya KPU tetap kerja sama lagi untuk Sipol. Itu sudah dilarang dalam keputusan DKPP," urainya.
"Itu boleh. Pertama, dalam konteks pendidikan politik pemilih. Kedua, dalam pemantauan pemilih, dan ketiga dalam konteks sosialisasi," ujar Hakam kepada Tribunnews.com di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (23/5/2013).
Hakim menambahkan, jika kerja smaa KPU dengan lembaga asing menyoal urusan data, apalagi terkait penyelenggaraan internal KPU, jelas menabrak prinsip independensi.
"Artinya, kerja sama itu jangan masuk ke dalam rumah tangga KPU. Kalau kerja sama ke luar dan tidak masuk, bisa. Kami tentu saja akan melakukan fungsi pengawasan," tuturnya.
Sebelumnya, Koalisi Mandiri untuk Pemilu Demokratis (KPMD), gabungan masyarakat sipil pemerhati pemilu, meminta KPU menjelaskan kenapa ada kerja sama dengan Australian Electoral Commision.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow, mendapat informasi adanya kerja sama KPU dengan AEC, yang melakukan pelatihan untuk menjadi fasilitator dengan KPU provinsi dan kabupaten/kota.
"AEC ini lembaga yang mendanai, dan kegiatannya di Hotel Aston Bogor. Kami mau tahu sejauh mana kerja sama dengan lembaga asing. Informasi ini akan kami konfirmasikan dengan KPU," ungkap Jeirry siang tadi di KPU.
Jeirry menambahkan, AEC membuat modul dan training dengan KPU daerah. Kerja sama ini sudah berjalan sejak tahun lalu. Sayangnya, komisioner KPU tak bisa menjelaskan karena tak ada di kantornya.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menduga ada alasan, meski sudah dua kali Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengingatkan KPU tak lagi bekerja sama, tapi tetap tak mengindahkan."Tahun lalu kami merilis hasil Kedutaan Besar Australia telah mengeluarkan paket bantuan ke KPU. Kami mendesak KPU tak gunakan bantuan itu. Sampai akhirnya KPU tetap kerja sama lagi untuk Sipol. Itu sudah dilarang dalam keputusan DKPP," urainya.
sumber: tribunnews
COMMENTS